Senin, 26 Maret 2012
Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast, neutrofil, limfosit, makrofag, sl epitel dan endotel.Dan sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses faalan dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin. Sejak pertemuan antihistamin pada awal tahun 1940, antihistamin sangat terkenal diantara pasien dan dokter. Antara tahun 1940-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin digolongkan menjadi anti histamin penghambat reseptor H1(AH1),penghambat reseptor H2 (AH2), penghambat H3 (AH3).
Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk mengobati kelainan kronik maupun rekuren. Dengan demikian dermatologist harus teliti dengan pemakaian antihistmin dan efek samping potensial pada kelompok-kelompok antihistamin yang berbeda untuk keperluan klinis sehingga dapat menggunakan antihistamin dengan baik.
1. Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)
Atihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan antihistamin H1. Dulu antihistamin H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1.
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan ynag mengikat reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.

- Penggolongan Antihistamin H1 (AH1)
Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal denagn penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.. Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang segnifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergenik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem syaraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih banyak terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memproleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal.

Farmakologi
Sebagai ineverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamin H1 ini bisa mengurangi permeabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.

Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast atau membran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel.  Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.

Antihistamin H1 diduga juaga memiliki efek antiflamasi. Hal ini terlihat dari study in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracelluler adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara segnifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk manguak misteri dari efek tambahan ini.

Selain itu efek yang dihasilkan dari antihistamin H1 antara lain:
          1.   Efek Sedasi
Antihistamin H1 generasi pertama memiliki efek sedasi yang cukup besar sehingga berguna sebagai  bantuan tidur dan tidak sesuai untuk penggunaan pada siang hari. Sedangkan Antihistamin H1 generasi kedua hanya mempunyai sedikit atau tidak mempunyai kerja sedatif atau stimulatif. Obat antihistamin H1 generasi kedua (atau metabolitnya) juga mempunyai efek autonomik yang lebih sedikit dari antihistamin H1 generasi pertama.
          2.   Efek Anti mual dan Anti muntah
Beberapa antihistamin H1 generasi pertama mempunyai aktivitas bermakna dalam mencegah terjadinya motion sickness (mabuk kendaraan), tetapi kurang efektif jika sudah terjadi mabuk.
          3.   Efek Anti Parkinsonisme
Diduga karena efek antikolinergik, beberapa natihistamin H1, mempunyai efek supresi akut yang bermakna pada gejala-gejala parkinsonisme yang dikaitkan dengan penggunaan obat parkinsonisme tersebut.
          4.   Kerja antikolinoseptor
Banyak agen dari generasi pertama, khususnya di dalam subgrup ethanolamine dan ethylendiamine, mempunyai efek menyerupai atropin yang bermakna pada reseptor muskarinik perifer.
          5.   Kerja penyekat adrenoseptor
Efek penyekat reseptor alfa dapat dibuktikan untuk beberapa antihistamin H1, khususnya di dalam subgrup phenothiazine, misalnya promethazine. Kerja tersebut dapat mengakibatkan hipotensi ortotastik pada orang-orang yang rentan. Penyekatan pada reseptor beta tidak terjadi.
          6.   Kerja penyekat serotonin
Efek penyekatan yang kuat terhadap reseptor serotonin telah dibuktikan pada beberapa generasi pertma H1, terutama cyproheptadine Obat tersebut digunakan sebagai antiserotonin, tetapi obat tersebut mempunyai struktur kimia yang menyerupai antihistamin phenothiazine dan merupakan suatu obat penyekat H1 yang kuat.
          7.   Anestesi lokal
Antihistamin H1 generasi pertama merupakan anastesi lokal yang efektif.Diphenhidramine dan promethazine kadang digunakan sebagai anastesi lokal pada pasien alergi terhadap obat-obat anastetik lokal yang konvensional.

Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, Antihistamin H1 diabsorbsi secara baik. Pemberian antihistamin H1 secara oral efeknya timbul 15-30 menit dan maksimal setelah 1-2 jam, mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati. Antihistamin H1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya. Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, dan pasien yang menerima ketokonazol, eritromosin, atau menghambat microsomal oxygenase lainnya.

Penggunaan Klinis
Indikasi
Antihistamin H1 berguna untuk pengobatan simptomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. Antihistamin generasi pertama digunakan untuk mengatasi hipersitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan.

Efek samping
Pada dosis, terapi, semua antihistamin H1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam toleransi obat antar individu, kadang-kadang efek ini sangat menganggu sehingga terapi perlu dihentikan.
Efek samping antihistamin H1 Generasi pertama:
  1. Alergi                :Fotosentivitas, shock anafilaksis, ruam, dermatitis
  2. Kardiovaskular  :Hipotensi postural, refleks takikardia, palpitasi, trombosis vena pada sisi injeks.
  3. S.Syaraf pusat   :Sedasi, pusing, gangguan koordinas, bingung, rx.extraparamidal(dosis tinggi)
  4. Gastrointestinal  :Apigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
  5. Genitourinari      :Urinary frequency, urinary retention, dysuria
  6. Respiratori         :Dada sesak, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasa spray)
Antihistamin Generasi kedua dan ketiga:
  1. Alergi               :Fotosentivitas, shocks anafilaksis, ruam, dan dermatitiS
  2. SSP                 :Mengantuk, sakit kepala, sedasi
  3. Respiratori       :Mulut kering
  4. Gastrointestinal :Nausea, vomiting, abdominal distress
Beberapa efek samping lain dari antihistamin :
  1. Efek sedasi
  2. Gangguan psikomotor
  3. Gangguan kognitif
  4. Efek kardiotoksisitas
Kontraindiksi
Antihistamin generasi pertama
  1. Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural
  2. Bayi baru lahir atau premature
  3. Ibu menyusui
  4. Narrow-angle glaucoma
  5. Stenosing peptic ulcer
  6. Hipertropi prostat simptomatik
  7. Bladder neck obstruction
  8. Penyumbatan pylorodudenal
  9. Gejala saluran napas atas (termasuk asma)
  10. Pasien tua
  11. Pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI)
2. Anthistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)
Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung, perangsangan jantung. Beberapa jaringan otot polos pembuluh darah mempunyai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.
Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial H2 cemitidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine ditemukan pula sebagai antihistamin H2. Baik simetidine dan ratidine diberikan dalam bentuk oral untuk mengobati penyakit kulit

-Struktur 
Antihistamin H2 secara struktur hampir mirip dengan histamin. Simetidin mengandung komponen imidazole, dan ranitidin mengandung komponen aminomethylfuran moiety.

Farmakodinamik
Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat.

Farmakokinetik
Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan. Absorpsi terjadi pada menit ke 60-90. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam. Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%.Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin. 

Mekanisme aksi
Walaupun simetidin dan ranitidin berfungsi sama yaitu menghambat reseptor H2, namun ranitidin lebih poten. Simetidin juga menghambat histamin N-methyl  transferase, suatu enzim yang berperan dalam degrasi histamin. Tidak seperti ranitidin, simetidin menunjukkan aktivitas antiandrogen, suatu efek yang diketahui tidak berhubungan dengan kemampuan menghambat raseptor H2. Simetidin tampak meningkatkan sistem imun dengan menghambat aktivitas sel T supresor. Hal ini disebabkan oleh blokade resptor H2 yang dapat dilihat dari supresor limfosit T. Imunitas humoral dan sel dapat dipengaruhi.

Penggunaan klinis
Indikasi : 
Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Antihistamin H2 sama efektif dengan pengobatan itensif dengan antasid  untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Antihistamin H2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison.
Penggunaan antihistamin H2 dalam bidang dermatologi seringkali digunakan ranitidin atau simetidin untuk pengobatan gejala dari mastocytosis sistematik, sperti urtikaria dan pruritus. Pada beberapa pasien pengobatan digunakan dosis tinggi.

Efek samping
Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan pemhambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain :
  1. Nyeri kepala
  2. Pusing
  3. Malaise
  4. Mialgia
  5. Mual
  6. Diare
  7. Konstipasi
  8. Ruam kulit
  9. Pruritus
  10. Kehilangan libido
  11. Impoten
Kontraindikasi
  1. Kehamilan
  2. Ibu menyusui
  Kesimpulan
         Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, histamin dibagi menjadi antagonis reseptor H1, reseptor H2, dan reseptor H3. Penghambat reseptor H1 digunakan pada terapi alergi yang diperantai IgE. Obat-obatan tersebut telah tersedia tetapi penggunaan generasi antihistamin pertama (klorfeniramin, bomfeniramin, difenhidramin, klemastin, hidroksizin) terbatas, karena adanya efek samping sedasi primer dan menyebabkan keringnya membran mukosa. Antihistamin generasi kedua (loratadin, cetirizin) dan ketiga (feksofenadin, desloratadin) bekerja menghambat reseptor histamin H1 disamping efek antiinflamasi.
         Pemakaian diklinik hendaknya mempertimbangkan cara kerja obat, farmakokinetik dan farmakodinamik, indikasi dan kontra indikasi, cara pemberian, serta efek samping obat dan interaksi obat lain. Beberapa antihistamin mempunyai efek samping yang serius jika dikonsumsi bersamaan dengan obat lain atau menggunakan antihistamin tanpa alasan yang jelas.

Sumber Refrensi
1.Rengganis Iris : Alergi Merupakan Penyakit Sistematik : Cermin Dunia Kedokteran 2004; 142 : 42-45
2. Sjabana Dripa : Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta, 2005, p.467-487

Translate

Kalender


About Me

Foto Saya
Afra_Rosmawati., Apt
Kalimantan Timur, Sangatta, Indonesia
Sederhana, simple, ga banyak ngomong, romantis tapi sedikit cuek ^_~
Lihat profil lengkapku

Total Tayangan

Twitter

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut