Senin, 15 April 2013

Apa sih yang disebut narkotika?
Istilah “narcotic” awalnya dimunculkan oleh dokter Yunani, Galen, yang merujuk pada senyawa yg menyebabkan “mati rasa”. Kata ini berasal dari bahasa Yunani :ναρκωσις ( narcosis), yang artinya “mati rasa” itu tadi. Dulu beberapa tanaman digunakan dalam proses pengobatan untuk tujuan tersebut, misalnya pada pembedahan atau mengurangi rasa sakit, seperti : mandrake root, altercus (eclata) seeds, and poppy juice (opium), yang berefek menghilangkan nyeri dan  menidurkan.
Istilah ini sekarang bergeser atau meluas, yaitu bahwa semua senyawa yang memiliki efek psiko-aktif (mempengaruhi fisik dan kejiwaan) digolongkan sebagai narkotika. Tidak saja senyawa golongan opiat, tapi termasuk stimulan seperti amfetamin dan derivatnya sekarang tergolong sebagai narkotika. Nah, menurut UU Narkotika no 35 th 2009, narkotika didefinisikan sebagai : zat atau obat yang berasal dari  tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Dalam UU ini, narkotika digolongkan ke dalam tiga golongan:
Narkotika Golongan I : hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggimengakibatkan ketergantungan
Contoh : heroin, kokain, opium, ganja, katinon, MDMDA/ecstasy
Narkotika Golongan II : Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan
Contoh : morfin, petidin, fentanil, metadon
Narkotika golongan III : berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan
Contoh : Codein, buprenorfin, etilmorfin
Nah, utk penggolongan ini dan kriterianya, aku berpendapat bahwa ini perlu direvisi. Jika dicermati, kriteria di atas mencerminkan adanya strata tentang potensi mengakibatkan ketergantungan, di mana Gol I dikatakan berpotensi sangat tinggi, gol II potensi tinggi, dan gol III potensi ringan. Aku kurang sepakat dengan strata ini, karena secara farmakologi itu kurang tepat. Seorang yang menggunakan 1 gram candu/opium dengan 1 gram morfin, potensinya besar mana untuk menghasilkan efek farmakologi dan ketergantungan? Tentunya lebih poten morfin, karena morfin adalah zat aktif dari candu/opium. Dengan demikian, penggolongan menjadi tidak tepat, karena morfin adalah golongan 2 dan opium golongan pertama. Aku usulkan bahwa kata sangat itu tidak perlu, karena kedua golongan itu sama-sama menyebabkan ketergantungan. Dan jika akan dibuat strata, harus jelas parameternya seperti apa dikatakan sangat, dan yang tidak sangat. Jadi poin-nya lebih pada penggunaannya di dalam terapi, apakah sudah teruji dan sesuai dengan indikasi medis. Golongan I tidak digunakan dalam terapi, sedangkan golongan II dapat digunakan dalam terapi. Dan untuk digunakan dalam terapi tentunya asas-asas sebagai obat juga harus jelas, yaitu terkait dengan kadar zat aktif, dosis, cara penggunaan, bentuk sediaan, dll.
cannabis
Selanjutnya aku memaparkan tentang ganja, senyawa apa saja yang terkandung dan efek-efek serta mekanismenya. Ganja atauCannabis sativa adalah tanaman yang mengandung berbagai senyawa penyusun. Senyawa psikoaktif pada ganja adalahtetrahidrocanabinnol (THC), yang bekerja pada reseptor cannabinoid. Reseptor ini sendiri cukup menarik, karena ditemukan baru pada tahun 1987-an pada manusia, dan dia juga berperan dalam berbagai fungsi fisiologis. Aku memprediksikan, di masa depan reseptor ini juga akan menjadi target aksi obat-obat seperti halnya “kakaknya” reseptor opiat yang telah ditemukan lebih dulu dan sudah banyak sekali obat-obat sintetik yang dikembangkan yang bekerja pada reseptor ini. Sebuah International Society on Cannabinoid Researchbahkan sudah didirikan, yang berfokus pada penelitian tentang sistem cannabinoid.
Berarti ganja bisa dijadikan obat dong? Berarti bukan golongan I narkotika?
Dronabinol
Eitt…tunggu dulu… pertanyaan itu akan sebanding dengan “ Berarti candu bisa dijadikan obat dong?.. Yups, jawaban atas pertanyaan ini sama, yaitu: ..Ya, candu maupun ganja dapat dikembangkan menjadi obat. Buktinya, banyak obat-obat turunan candu yang sudah dipakai secara legal dalam pengobatan seperti morfin, petidin, kodein, fentanil, dll. Apakah ada obat yang berasal dari ganja/cannabis?..Ya, ada dronabinol (Marinol),nabilon, dll. yang diindikasikan sebagai anti mual muntah pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, dan sebagai peningkat nafsu makan pada pasien HIV/AIDS.  Memang jumlahnya masih sedikit, karena seperti yang disampaikan tadi, reseptor cannabinoid ini belum lama ditemukan dan dikembangkan sebagai target aksi obat. Sangat mungkin di masa depan akan dikembangkan turunan2 cannabinoid lainnya.
Nah, berarti posisi tanaman candu dan ganja sama kan? Sebagai sumber senyawa psikoaktif. Kalau ganja akan diperjuangkan keluar dari UU narkotika, mestinya tanaman candu juga demikian…  itu akan lebih fair… Tapi bukan demikian kan?
Ada kriteria lain untuk tetap digolongkan dalam narkotika golongan 1, yaitupotensinya menyebabkan ketergantungan. Semua senyawa psikoaktif menyebabkan adiksi, walaupun dengan potensi yang berbeda-beda. Mengapa? Ya karena mekanismenya menyebabkan adiksi berbeda-beda.  Adiksi sendiri secara medik didefinisikan sebagai gangguan kambuhan yang bersifat kronis, yang dikarakterisir oleh adanya dorongan untuk mencari dan menggunakan obat, kehilangan kontrol terhadap pembatasan penggunaan obat, dan munculnya emosi negatif(dysphoria, anxiety, irritability) jika tidak mendapatkan obat, walaupun mengetahui efek buruk pengunaan obat tersebut.
Mengapa orang bisa adiksi terhadap obat/zat?
Secara awam, adiksi atau ketagihan adalah keinginan untuk mengulang dan mengulang lagi karena mendapatkan efek yang menyenangkan. Bagaimana mekanismenya? Semua zat yang membuat ketagihan umumnya bekerja melibatkan “sistem reward” di otak, yang melibatkan neurotransmiter dopamin. Dopamin akan bekerja pada reseptornya memicu sistem reward, dan menimbulkan rasa senang. Hal ini menyebabkan orang ingin mengulang dan mengulang lagi utk mendapat kesenangan yg sama. Yang berbeda antar zat adalah pada mekanismenya. Senyawa opiat bekerja melalui reseptor opiat, senyawa kokain dan golongan amfetamin bekerja dengan menghambat reuptake dopamin dan serotonin, senyawa ganja beraksi pada reseptor cannabinoid, yang semuanya nanti dapat mengarah pada picuan sistem reward. Jadi, intensitas adiksinya juga berbeda-beda. Selain itu, reaksi putus obat-nya juga berbeda-beda tergantung pada sifat zatnya. THC dari ganja bersifat sangat lipofilik (larut dalam lemak), sehingga ia berada di jaringan lemak tubuh cukup lama. Sekali dikonsumsi, ganja akan tinggal dalam tubuh cukup lama, dan baru tereliminasi sempurna setelah 30-an hari.  Hal ini menyebabkan gejala putus obat yang ringan pada pengguna ganja, dibandingkan dengan obat-obat opiat.
Apakah dengan demikian ganja tidak berbahaya?
Penelitian tentang efek-efek bahaya ganja sudah cukup banyak dipublikasikan. Beberapa diantaranya menekankan pada efeknya terhadap peningkatan gejala psikotik (gangguan jiwa), berkurangnya kemampuan kognitif, dan pada efek fisiologis lainnya. Aku sendiri memaparkan suatu fakta (walaupun masih mungkin diperdebatkan) yang mendukung “gateway theory” dari hasil penelitian cukup baru (Addictive Behaviours. 2012 Feb; 37(2):160-6) bahwa ganja merupakan “gateway” bagi penggunaan obat-obat terlarang lainnya. Dengan kata lain, sekali menggunakan cannabis kecenderungan mencoba obat-obat terlarang yang lain kemungkinannya menjadi lebih besar. Disebutkan bahwa risiko memulai penggunaan obat-obat terlarang lainnya adalah 124 kali lebih tinggi pada pengguna ganja kronis dibandingkan bukan pengguna.
Jadi, kalaupun secara fisiologis nampaknya efek ganja lebih ringan dari senyawa psikoaktif lainnya, hal lain yang perlu menjadi perhatian dan pertimbangan adalah dampak psikososialnya. Sebagian besar penggunaan ganja adalah untuk tujuanrekreasional, untuk melarikan diri dari masalah, atau untuk mendapatkanperformance yang mungkin bukan sesungguhnya. Beberapa kasus penggunaan ganja banyak dijumpai pada seniman yang katanya akan bisa meningkatkan kreativitasnya. Menurutku ini akan meninggalkan generasi yang lemah, yang tidak bisa memecahkan masalah, yang “penipu” karena tidak menunjukkan kemampuan sebenarnya (performance-nya akan bagus kalau di bawah pengaruh ganja), belum lagi dampak-dampak psikososial lainnya.
Bahwa ada manfaat pohon ganja yang bisa menghasilkan serat seperti yang disampaikan oleh teman-teman LGN, itu sah-sah saja. Tapi memangnya tidak ada sumber serat lainnya yang tidak berisiko meninggalkan dampak lebih luas???? Tanaman di Indonesia masih banyak sekali jenisnya, dan masih mungkin sekali dieksplorasi utk menghasilkan serat yang sama bagusnya atau lebih bagus dari serat ganja.
Jadi, kalaupun ada sedikit revisi mengenai kriteria penggolongan narkotika, aku tetap berpendapat bahwa tanaman ganja tetap berada dalam satu golongan dengan tanaman-tanaman penghasil senyawa psikoaktif lainnya, sepertiPapaver somniferum (candu), Erythroxylon coca (penghasil kokain), dan termasuk tanaman Catha edulis (penghasil katinon) yang sekarang belum masuk dalam UU. (Jadi perlu ada revisi juga dalam daftar senyawa/tanaman yang masuk dalam golongan2 tersebut.)
Pembicara ke-empat yaitu Prof.Edy O.S Hiarriej, dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, mengkritisi dari sisi hukum. Ganja bersifat psikoaktif terutama terhadap aktivitas mental dan perilaku. Ia tidak menyebabkan sindrom ketergantungan atauwithdrawal syndrome, tidak menyerang susunan saraf pusat seperti heroin, kokain dan jenis narkotika lainnya, namun sebaiknya masih mendapatkan posisi di undang-undang Narkotika. Sesuai dengan hukum Indonesia yang masih banyak berkiblat pada Negeri Belanda (walaupun sekarang hukum sudah mulai berkembang dengan mengacu pada beberapa negara lain), undang-undang narkotika masih humanis. Prof. Edy lebih menyoroti tentang hukuman pengguna murni yang sepatutnya berupa rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan jalan terbaik dan humanis bagi pengguna narkoba itu sendiri. Prof Eddy mendukung usulanku untuk merevisi UU narkotika, dan beliau lebih menekankan dari aspek hukumnya yaitu mengenai hukuman bagi pelanggar UU Narkotika yang semestinya berdasarkan kualitas perbuatannya, bukan pada penggolongan narkotikanya.
Dalam hal gateway theory yang aku singgung terkait dengan ganja, sisi kriminologi mempunyai sudut pandang berbeda. Menurut Prof. Edy, gateway untuk sebuah tindakan kriminal adalah potensi untuk melakukan kejahatan. Semua orang memiliki potensi yang sama. Namun jika seseorang telah “berhasil” melakukan kejahatan pertama, maka itu akan meningkatkan kemungkinan melakukan kejahatan selanjutnya. Yah, whatever lah… masing-masing boleh memiliki sudut pandang yang berbeda. Tapi menurutku, dengan sudut pandang kesehatan, lebih baik preventif daripada kuratif. Mencegah penggunaan ganja diharapkan akan mencegah penggunaan obat-obat terlarang lainnya.
Akhir dari Seminar
Seminar ini ditutup dengan tanya jawab. Sesi ini melibatkan beberapa peserta yang mengkritisi undang-undang narkotika hasil paparan masing-masing pembicara. Beberapa pertanyaan tersebut mempertajam pentingnya untuk memperkuat dasar hukum narkotika. Riset ini sebaiknya merupakan kolaborasi banyak pihak, baik BPOM, Kementrian Kesehatan dan BNN. Pihak BNN sendiri pernah melakukan penelitian bekerja sama dengan Universitas Indonesia (Institusi pendidikan tinggi) untuk prevalensi pengguna tahun 2011. Hasil penelitian tersebut, prevalensi pengguna narkoba tercatat 2,2 % dari jumlah penduduk yang rentan di Indonesia sedangkan 2,8% diantaranya warga Yogya. Tema prevalensi menjadi topik tersendiri yang perlu dikembangkan. Pusat penelitian narkotika terutama tentang ganja menjadi hal yang penting sekarang.
Rehabilitasi menjadi kesimpulan semua pihak sebagai hukuman pencandu dan pengguna yang paling humanis. Rehabilitasi yang dilakukan berupa rehabilitasi fisik dan sosial. Dinas kesehatan diharapkan membuat tim, apakah orang itu direhabilitasi atau tidak. Peraturan Pemerintah berkaitan dengan wajib lapor, memberikan kesempatan bagi pecandu untuk direhabilitasi supaya mereka terbebas dari jeratan narkoba. Menteri kesehatan juga mendukung program tersebut dengan membentuk IPWl (institusi penerima wajib lapor). Pecandu yang dirujuk ke IPWL mendapatkan layanan kesehatan. Proses pidana maupun masa tahanan tetap dihitung saat dilakukan rehabilitasi. Di jogja ditunjuk 8 institusi yang melayani rehabilitasi, RS Grasia, RSUP dr.Sardjito, RSUD kota Jogja, Puskesmas Umbul Harjo, Puskesmas Gedong Kuning, dan Puskesmas Banguntapan II. Rehabilitasi sosial dilayani di PSPP Purwomartani, dan  Kunci. Rehabilitasi menghindari overkriminalisasi penegakan hukum karena semakin banyak negara mengkriminalkan sesuatu menunjukkan bahwa negara tidak mampu melindungi warga negaranya sendiri.
Pada intinya, perlu adanya riset ganja yang dilakukan di Indonesia (tidak hanya mengacu pada penelitian luar negeri) untuk mendasari produk hukum dan adanya inisiatif banyak pihak untuk mengkoreksi undang-undang narkotika.
Begitulah….mungkin tidak semua pihak puas dengan hasil seminar ini, tapi setidaknya aku sudah berupaya menyumbangkan pemikiranku mengenai UU narkotika ini. Aku juga mengajak teman-teman LGN, jika memang ingin melakukan penelitian-penelitian, ayo buatlah roadmap penelitian yg jelas, mau diarahkan kemana riset tentang ganja. Buatlah proposal-proposal yang bagus dengan disain penelitian yang sesuai. Jika memenuhi syarat akademik dan saintifik, mengapa tidak bekerjasama saja, asal ada dananya dan ijin untuk melakukannya. Ini akan lebih positif dan obyektif untuk menegakkan status ganja di bumi Indonesia, tidak bertahan sebagai polemik saja.
Legalisasi ganja?
Sebenernya ada satu hal yang ingin aku tanyakan, karena memang benar-benar awam hukum, terkait dengan legalisasi, tapi kemarin waktunya terbatas. Sebenarnya sampai sejauh mana sih legalisasi yang diinginkan? Menurutku, legalisasi adalah hal yang tidak berkaitan dengan penggolongan ganja dalam UU. Morfin, petidin, kodein (golongan II dan III narkotika) adalah legal digunakan selama itu sesuai dengan prosedur yang berlaku, misalnya harus dengan resep dokter, dst. Jadi tidak ada masalah kan? Masuk dalam UU narkotika bisa tetap legal kan? Kenapa harus maksain keluar dari UU narkotika?  Jadi, menurutku jika ganja sudah dibuat dalam bentuk obat yang terstandar dan teruji memberikan efek terapi, seperti dronabinol atau nabilon, maka penggunaannya juga akan legal. Jadi masalahnya di mana?  Jika yang dimaui adalah penggunaan legal untuk tujuan rekreasional, nah… ini yang menjadi pertanyaan…. ada hidden agenda apa? Mau dibawa kemana generasi muda bangsa ini?
Well, begitulah kawan, sekedar berbagi… berbeda pendapat boleh saja, selama didukung oleh logika berpikir yang benar dan  niat yang bersih. Semoga bisa menambah wawasan...

Sumber : Blog Bu Zullies

Apa sih yang disebut narkotika?
Istilah “narcotic” awalnya dimunculkan oleh dokter Yunani, Galen, yang merujuk pada senyawa yg menyebabkan “mati rasa”. Kata ini berasal dari bahasa Yunani :ναρκωσις ( narcosis), yang artinya “mati rasa” itu tadi. Dulu beberapa tanaman digunakan dalam proses pengobatan untuk tujuan tersebut, misalnya pada pembedahan atau mengurangi rasa sakit, seperti : mandrake root, altercus (eclata) seeds, and poppy juice (opium), yang berefek menghilangkan nyeri dan  menidurkan.
Istilah ini sekarang bergeser atau meluas, yaitu bahwa semua senyawa yang memiliki efek psiko-aktif (mempengaruhi fisik dan kejiwaan) digolongkan sebagai narkotika. Tidak saja senyawa golongan opiat, tapi termasuk stimulan seperti amfetamin dan derivatnya sekarang tergolong sebagai narkotika. Nah, menurut UU Narkotika no 35 th 2009, narkotika didefinisikan sebagai : zat atau obat yang berasal dari  tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Dalam UU ini, narkotika digolongkan ke dalam tiga golongan:
Narkotika Golongan I : hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggimengakibatkan ketergantungan
Contoh : heroin, kokain, opium, ganja, katinon, MDMDA/ecstasy
Narkotika Golongan II : Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan
Contoh : morfin, petidin, fentanil, metadon
Narkotika golongan III : berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan
Contoh : Codein, buprenorfin, etilmorfin
Nah, utk penggolongan ini dan kriterianya, aku berpendapat bahwa ini perlu direvisi. Jika dicermati, kriteria di atas mencerminkan adanya strata tentang potensi mengakibatkan ketergantungan, di mana Gol I dikatakan berpotensi sangat tinggi, gol II potensi tinggi, dan gol III potensi ringan. Aku kurang sepakat dengan strata ini, karena secara farmakologi itu kurang tepat. Seorang yang menggunakan 1 gram candu/opium dengan 1 gram morfin, potensinya besar mana untuk menghasilkan efek farmakologi dan ketergantungan? Tentunya lebih poten morfin, karena morfin adalah zat aktif dari candu/opium. Dengan demikian, penggolongan menjadi tidak tepat, karena morfin adalah golongan 2 dan opium golongan pertama. Aku usulkan bahwa kata sangat itu tidak perlu, karena kedua golongan itu sama-sama menyebabkan ketergantungan. Dan jika akan dibuat strata, harus jelas parameternya seperti apa dikatakan sangat, dan yang tidak sangat. Jadi poin-nya lebih pada penggunaannya di dalam terapi, apakah sudah teruji dan sesuai dengan indikasi medis. Golongan I tidak digunakan dalam terapi, sedangkan golongan II dapat digunakan dalam terapi. Dan untuk digunakan dalam terapi tentunya asas-asas sebagai obat juga harus jelas, yaitu terkait dengan kadar zat aktif, dosis, cara penggunaan, bentuk sediaan, dll.
cannabis
Selanjutnya aku memaparkan tentang ganja, senyawa apa saja yang terkandung dan efek-efek serta mekanismenya. Ganja atauCannabis sativa adalah tanaman yang mengandung berbagai senyawa penyusun. Senyawa psikoaktif pada ganja adalahtetrahidrocanabinnol (THC), yang bekerja pada reseptor cannabinoid. Reseptor ini sendiri cukup menarik, karena ditemukan baru pada tahun 1987-an pada manusia, dan dia juga berperan dalam berbagai fungsi fisiologis. Aku memprediksikan, di masa depan reseptor ini juga akan menjadi target aksi obat-obat seperti halnya “kakaknya” reseptor opiat yang telah ditemukan lebih dulu dan sudah banyak sekali obat-obat sintetik yang dikembangkan yang bekerja pada reseptor ini. Sebuah International Society on Cannabinoid Researchbahkan sudah didirikan, yang berfokus pada penelitian tentang sistem cannabinoid.
Berarti ganja bisa dijadikan obat dong? Berarti bukan golongan I narkotika?
Dronabinol
Eitt…tunggu dulu… pertanyaan itu akan sebanding dengan “ Berarti candu bisa dijadikan obat dong?.. Yups, jawaban atas pertanyaan ini sama, yaitu: ..Ya, candu maupun ganja dapat dikembangkan menjadi obat. Buktinya, banyak obat-obat turunan candu yang sudah dipakai secara legal dalam pengobatan seperti morfin, petidin, kodein, fentanil, dll. Apakah ada obat yang berasal dari ganja/cannabis?..Ya, ada dronabinol (Marinol),nabilon, dll. yang diindikasikan sebagai anti mual muntah pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, dan sebagai peningkat nafsu makan pada pasien HIV/AIDS.  Memang jumlahnya masih sedikit, karena seperti yang disampaikan tadi, reseptor cannabinoid ini belum lama ditemukan dan dikembangkan sebagai target aksi obat. Sangat mungkin di masa depan akan dikembangkan turunan2 cannabinoid lainnya.
Nah, berarti posisi tanaman candu dan ganja sama kan? Sebagai sumber senyawa psikoaktif. Kalau ganja akan diperjuangkan keluar dari UU narkotika, mestinya tanaman candu juga demikian…  itu akan lebih fair… Tapi bukan demikian kan?
Ada kriteria lain untuk tetap digolongkan dalam narkotika golongan 1, yaitupotensinya menyebabkan ketergantungan. Semua senyawa psikoaktif menyebabkan adiksi, walaupun dengan potensi yang berbeda-beda. Mengapa? Ya karena mekanismenya menyebabkan adiksi berbeda-beda.  Adiksi sendiri secara medik didefinisikan sebagai gangguan kambuhan yang bersifat kronis, yang dikarakterisir oleh adanya dorongan untuk mencari dan menggunakan obat, kehilangan kontrol terhadap pembatasan penggunaan obat, dan munculnya emosi negatif(dysphoria, anxiety, irritability) jika tidak mendapatkan obat, walaupun mengetahui efek buruk pengunaan obat tersebut.
Mengapa orang bisa adiksi terhadap obat/zat?
Secara awam, adiksi atau ketagihan adalah keinginan untuk mengulang dan mengulang lagi karena mendapatkan efek yang menyenangkan. Bagaimana mekanismenya? Semua zat yang membuat ketagihan umumnya bekerja melibatkan “sistem reward” di otak, yang melibatkan neurotransmiter dopamin. Dopamin akan bekerja pada reseptornya memicu sistem reward, dan menimbulkan rasa senang. Hal ini menyebabkan orang ingin mengulang dan mengulang lagi utk mendapat kesenangan yg sama. Yang berbeda antar zat adalah pada mekanismenya. Senyawa opiat bekerja melalui reseptor opiat, senyawa kokain dan golongan amfetamin bekerja dengan menghambat reuptake dopamin dan serotonin, senyawa ganja beraksi pada reseptor cannabinoid, yang semuanya nanti dapat mengarah pada picuan sistem reward. Jadi, intensitas adiksinya juga berbeda-beda. Selain itu, reaksi putus obat-nya juga berbeda-beda tergantung pada sifat zatnya. THC dari ganja bersifat sangat lipofilik (larut dalam lemak), sehingga ia berada di jaringan lemak tubuh cukup lama. Sekali dikonsumsi, ganja akan tinggal dalam tubuh cukup lama, dan baru tereliminasi sempurna setelah 30-an hari.  Hal ini menyebabkan gejala putus obat yang ringan pada pengguna ganja, dibandingkan dengan obat-obat opiat.
Apakah dengan demikian ganja tidak berbahaya?
Penelitian tentang efek-efek bahaya ganja sudah cukup banyak dipublikasikan. Beberapa diantaranya menekankan pada efeknya terhadap peningkatan gejala psikotik (gangguan jiwa), berkurangnya kemampuan kognitif, dan pada efek fisiologis lainnya. Aku sendiri memaparkan suatu fakta (walaupun masih mungkin diperdebatkan) yang mendukung “gateway theory” dari hasil penelitian cukup baru (Addictive Behaviours. 2012 Feb; 37(2):160-6) bahwa ganja merupakan “gateway” bagi penggunaan obat-obat terlarang lainnya. Dengan kata lain, sekali menggunakan cannabis kecenderungan mencoba obat-obat terlarang yang lain kemungkinannya menjadi lebih besar. Disebutkan bahwa risiko memulai penggunaan obat-obat terlarang lainnya adalah 124 kali lebih tinggi pada pengguna ganja kronis dibandingkan bukan pengguna.
Jadi, kalaupun secara fisiologis nampaknya efek ganja lebih ringan dari senyawa psikoaktif lainnya, hal lain yang perlu menjadi perhatian dan pertimbangan adalah dampak psikososialnya. Sebagian besar penggunaan ganja adalah untuk tujuanrekreasional, untuk melarikan diri dari masalah, atau untuk mendapatkanperformance yang mungkin bukan sesungguhnya. Beberapa kasus penggunaan ganja banyak dijumpai pada seniman yang katanya akan bisa meningkatkan kreativitasnya. Menurutku ini akan meninggalkan generasi yang lemah, yang tidak bisa memecahkan masalah, yang “penipu” karena tidak menunjukkan kemampuan sebenarnya (performance-nya akan bagus kalau di bawah pengaruh ganja), belum lagi dampak-dampak psikososial lainnya.
Bahwa ada manfaat pohon ganja yang bisa menghasilkan serat seperti yang disampaikan oleh teman-teman LGN, itu sah-sah saja. Tapi memangnya tidak ada sumber serat lainnya yang tidak berisiko meninggalkan dampak lebih luas???? Tanaman di Indonesia masih banyak sekali jenisnya, dan masih mungkin sekali dieksplorasi utk menghasilkan serat yang sama bagusnya atau lebih bagus dari serat ganja.
Jadi, kalaupun ada sedikit revisi mengenai kriteria penggolongan narkotika, aku tetap berpendapat bahwa tanaman ganja tetap berada dalam satu golongan dengan tanaman-tanaman penghasil senyawa psikoaktif lainnya, sepertiPapaver somniferum (candu), Erythroxylon coca (penghasil kokain), dan termasuk tanaman Catha edulis (penghasil katinon) yang sekarang belum masuk dalam UU. (Jadi perlu ada revisi juga dalam daftar senyawa/tanaman yang masuk dalam golongan2 tersebut.)
Pembicara ke-empat yaitu Prof.Edy O.S Hiarriej, dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, mengkritisi dari sisi hukum. Ganja bersifat psikoaktif terutama terhadap aktivitas mental dan perilaku. Ia tidak menyebabkan sindrom ketergantungan atauwithdrawal syndrome, tidak menyerang susunan saraf pusat seperti heroin, kokain dan jenis narkotika lainnya, namun sebaiknya masih mendapatkan posisi di undang-undang Narkotika. Sesuai dengan hukum Indonesia yang masih banyak berkiblat pada Negeri Belanda (walaupun sekarang hukum sudah mulai berkembang dengan mengacu pada beberapa negara lain), undang-undang narkotika masih humanis. Prof. Edy lebih menyoroti tentang hukuman pengguna murni yang sepatutnya berupa rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan jalan terbaik dan humanis bagi pengguna narkoba itu sendiri. Prof Eddy mendukung usulanku untuk merevisi UU narkotika, dan beliau lebih menekankan dari aspek hukumnya yaitu mengenai hukuman bagi pelanggar UU Narkotika yang semestinya berdasarkan kualitas perbuatannya, bukan pada penggolongan narkotikanya.
Dalam hal gateway theory yang aku singgung terkait dengan ganja, sisi kriminologi mempunyai sudut pandang berbeda. Menurut Prof. Edy, gateway untuk sebuah tindakan kriminal adalah potensi untuk melakukan kejahatan. Semua orang memiliki potensi yang sama. Namun jika seseorang telah “berhasil” melakukan kejahatan pertama, maka itu akan meningkatkan kemungkinan melakukan kejahatan selanjutnya. Yah, whatever lah… masing-masing boleh memiliki sudut pandang yang berbeda. Tapi menurutku, dengan sudut pandang kesehatan, lebih baik preventif daripada kuratif. Mencegah penggunaan ganja diharapkan akan mencegah penggunaan obat-obat terlarang lainnya.
Akhir dari Seminar
Seminar ini ditutup dengan tanya jawab. Sesi ini melibatkan beberapa peserta yang mengkritisi undang-undang narkotika hasil paparan masing-masing pembicara. Beberapa pertanyaan tersebut mempertajam pentingnya untuk memperkuat dasar hukum narkotika. Riset ini sebaiknya merupakan kolaborasi banyak pihak, baik BPOM, Kementrian Kesehatan dan BNN. Pihak BNN sendiri pernah melakukan penelitian bekerja sama dengan Universitas Indonesia (Institusi pendidikan tinggi) untuk prevalensi pengguna tahun 2011. Hasil penelitian tersebut, prevalensi pengguna narkoba tercatat 2,2 % dari jumlah penduduk yang rentan di Indonesia sedangkan 2,8% diantaranya warga Yogya. Tema prevalensi menjadi topik tersendiri yang perlu dikembangkan. Pusat penelitian narkotika terutama tentang ganja menjadi hal yang penting sekarang.
Rehabilitasi menjadi kesimpulan semua pihak sebagai hukuman pencandu dan pengguna yang paling humanis. Rehabilitasi yang dilakukan berupa rehabilitasi fisik dan sosial. Dinas kesehatan diharapkan membuat tim, apakah orang itu direhabilitasi atau tidak. Peraturan Pemerintah berkaitan dengan wajib lapor, memberikan kesempatan bagi pecandu untuk direhabilitasi supaya mereka terbebas dari jeratan narkoba. Menteri kesehatan juga mendukung program tersebut dengan membentuk IPWl (institusi penerima wajib lapor). Pecandu yang dirujuk ke IPWL mendapatkan layanan kesehatan. Proses pidana maupun masa tahanan tetap dihitung saat dilakukan rehabilitasi. Di jogja ditunjuk 8 institusi yang melayani rehabilitasi, RS Grasia, RSUP dr.Sardjito, RSUD kota Jogja, Puskesmas Umbul Harjo, Puskesmas Gedong Kuning, dan Puskesmas Banguntapan II. Rehabilitasi sosial dilayani di PSPP Purwomartani, dan  Kunci. Rehabilitasi menghindari overkriminalisasi penegakan hukum karena semakin banyak negara mengkriminalkan sesuatu menunjukkan bahwa negara tidak mampu melindungi warga negaranya sendiri.
Pada intinya, perlu adanya riset ganja yang dilakukan di Indonesia (tidak hanya mengacu pada penelitian luar negeri) untuk mendasari produk hukum dan adanya inisiatif banyak pihak untuk mengkoreksi undang-undang narkotika.
Begitulah….mungkin tidak semua pihak puas dengan hasil seminar ini, tapi setidaknya aku sudah berupaya menyumbangkan pemikiranku mengenai UU narkotika ini. Aku juga mengajak teman-teman LGN, jika memang ingin melakukan penelitian-penelitian, ayo buatlah roadmap penelitian yg jelas, mau diarahkan kemana riset tentang ganja. Buatlah proposal-proposal yang bagus dengan disain penelitian yang sesuai. Jika memenuhi syarat akademik dan saintifik, mengapa tidak bekerjasama saja, asal ada dananya dan ijin untuk melakukannya. Ini akan lebih positif dan obyektif untuk menegakkan status ganja di bumi Indonesia, tidak bertahan sebagai polemik saja.
Legalisasi ganja?
Sebenernya ada satu hal yang ingin aku tanyakan, karena memang benar-benar awam hukum, terkait dengan legalisasi, tapi kemarin waktunya terbatas. Sebenarnya sampai sejauh mana sih legalisasi yang diinginkan? Menurutku, legalisasi adalah hal yang tidak berkaitan dengan penggolongan ganja dalam UU. Morfin, petidin, kodein (golongan II dan III narkotika) adalah legal digunakan selama itu sesuai dengan prosedur yang berlaku, misalnya harus dengan resep dokter, dst. Jadi tidak ada masalah kan? Masuk dalam UU narkotika bisa tetap legal kan? Kenapa harus maksain keluar dari UU narkotika?  Jadi, menurutku jika ganja sudah dibuat dalam bentuk obat yang terstandar dan teruji memberikan efek terapi, seperti dronabinol atau nabilon, maka penggunaannya juga akan legal. Jadi masalahnya di mana?  Jika yang dimaui adalah penggunaan legal untuk tujuan rekreasional, nah… ini yang menjadi pertanyaan…. ada hidden agenda apa? Mau dibawa kemana generasi muda bangsa ini?
Well, begitulah kawan, sekedar berbagi… berbeda pendapat boleh saja, selama didukung oleh logika berpikir yang benar dan  niat yang bersih. Semoga bisa menambah wawasan...

Sumber : Blog Bu Zullies

Translate

Kalender


About Me

Foto Saya
Afra_Rosmawati., Apt
Kalimantan Timur, Sangatta, Indonesia
Sederhana, simple, ga banyak ngomong, romantis tapi sedikit cuek ^_~
Lihat profil lengkapku

Total Tayangan

Twitter

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut